Sebelum Islam datang, bangsa Arab sudah memiliki kalender sederhana dengan nama bulan dan hari. Nama-nama hari itu di adalah Awwal (Ahad), Ahwan (Itsnain), Jubar (Tsulatsa), Dubar (Arbi’a), Mu’nis (Khamis), Arubah (Jumat), dan Syiyar (Sabt).
Bangsa Arab di Hijaz (Makkah, Thaif, dan Yatsrib atau Madinah) memiliki tradisi berkumpul pada hari Arubah. Sebagaimana disebutkan Imam al-Qurthubi di dalam Tafsir al-Jami li al-Ahkam Alquran bahwa masyarakat Yatsrib berkumpul-kumpul sebagai sarana sosial pada hari Arubah. (Yatsrib diubah menjadi Madinah setelah hijrah Nabi Muhammad SAW).
Sementara itu, kaum Yahudi dan Nasrani juga memiliki hari saat mereka berkumpul, berdoa, dan beribadah di dalamnya. Kaum Yahudi beribadah pada hari ketujuh, yakni Sabat (Sabtu), sedangkan kaum Nasrani beribadah pada Ahad (Minggu).
Sahabat As’ad bin Zurarah Abu Umamah yang memulai dan menjadikan hari Arubah sebagai hari saat umat Islam tidak sekadar berkumpul tetapi juga sholat dan berdzikir. Sejak saat itu, nama hari Arubah diganti menjadi Jumat (Jumuat/ Jumat/ Jumaat).
Di dalam riwayat lain disebutkan, yang memprakarsai sholat Jumat adalah Mush’ab bin Umair. Sebab, apa yang dilakukan oleh As’ad bin Zurarah Abu Umamah tiada lain atas bantuan Mush’ab bin Umair.
Diceritakan bahwa ketika Rasulullah Muhammad SAW berhijrah dari Makkah pada Jumat, beliau melewati perkampungan bani Salim bin Auf yang terletak di tengah-tengah oase (wadi/lembah). Di perkampungan tersebut kemudian dibangun masjid tempat Rasulullah mempraktikkan ajaran Jumat, yaitu dengan menunaikan sholat Jumat dan berkhutbah untuk pertama kali.
Kemudian, turun wahyu surat al-Jumuah ayat 9. Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman. Apabila telah diseru untuk melaksanakan sholat pada hari Jumat maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
Sejak saat itulah hari Jumat menjadi hari umat Islam, sebagaimana hari Sabtu bagi orang Yahudi dan Ahad (Minggu) bagi orang Kristen atau Nasrani.